Asimetrisnya sistem yang tertanam sejak dini dalam lingkup kecil: keluarga

Handiani Dandrajati
2 min readJul 12, 2021

--

Setelah hiatus kurang lebih satu tahun, akhirnya menemukan kegelisahan untuk ditulis kembali.
Satu tahun yang lalu dalam kondisi pandemik, setahun kemudian ternyata negeriku masih menghadapi porak-porandanya pandemik yang terlihat lebih parah dari sebelumnya. Harapan besar agar semua pembaca medium ini sehat selalu.

Sejujurnya setahun setelah terakhir menyambangi Medium ini, sudah mengalami siklus kehidupan yang begitu besar. Mulai dari mendapat pekerjaan kembali setelah resign, tinggal di tempat baru, dan yang paling ajaib adalah “menikah”. Namun, tidak perlu khawatir, tulisan ini bukan tentang bucin apalagi so called “kebahagiaan setelah menikah”, bukan. Kali ini aku tidak akan cerita pernikahanku, tapi kegelisahanku yang sudah menumpuk dalam lubuk hati paling dalam.

Let’s get started.

Sebagai anak bungsu dengan latar belakang kedua orang tua bekerja, sejak kecil aku sudah terbiasa tidak bersama orang tuaku 24/7. Aku bersama pengasuh yang sampai saat ini masih setia bersama keluargaku, juga acap kali dititipkan ke tetangga untuk bermain bersama anaknya yang sepantaran denganku. Dari sini, aku banyak belajar, yaitu tidak bergantung pada orang tua, bermain sebebasku tanpa ada yang mengatur aku harus ini dan itu (walau terkadang suka kebablasan kalau penasaran akan sesuatu), dan adaptif. Dengan ketiga “kelebihan” tersebut, cukup menjadi bekalku untuk tinggal di asrama selama kuliah tanpa homesick. Setelahnya, aku ditakdirkan kembali ke rumah orang tua untuk melakukan WFH karena adanya pandemik. Di sini aku melihat adanya asimetris sistem dalam lingkup kecil, yang mungkin bisa dihubungkan dengan sifat manusia: tidak mudah puas, dan meminta lebih dari yang sekarang, yang membuatku sedikit menyesal menjadi dewasa.
Salah satu contohnya, tuntutan untuk jago memasak. Padahal, dilihat dari latar belakangku, dimana aku sedari kecil tidak melihat orang tuaku melakukan itu selain bekerja, darimana aku bisa bahkan terbiasa untuk memasak? Tapi tuntutan mengarah ke budaya konservatif terus menyerca “Perempuan ya wajib hukumnya bisa masak, masakin suami, masak besar, masak ini itu, ya mosok bisanya cuma masak oseng-oseng?”
Menurutku ini adalah asimetris sistem, dimana sistem yang ditanam oleh leluhur dan yang harus dipraktekan oleh penerusnya sangat berbeda, tidak simetris. “Kelebihan” lain yang aku sebutkan tadi, justru sama sekali tidak disinggung.
Aku sudah berusaha untuk melihat Youtube sebagai referensi memasak, namun sesuai dengan kemampuan yang aku miliki, butuh step by step, tidak bisa hari ini lihat Youtube “Soto Sokaraja” besok sore langsung jago memasak soto. Semua butuh waktu dan energi yang cukup.
Aku membenarkan bahwa perempuan bisa masak itu baik. Kemampuan tersebut nantinya sangat bermanfaat. Itu adalah benar. Namun, ekspektasi mereka yang ditanamkan terlalu tinggi, sehingga ketika aku tidak memenuhinya, banyak omelan yang datang berujung adu nasib dengan anak temannya “Aku lihat si ini, anaknya bu ini, umur sekamu bisa masak”
Ya pada intinya, bisa diambil sebagai pelajaran untuk diriku sendiri, bahwa untuk mewariskan nilai kepada penerusnya, harus diberi contoh terlebih dahulu. Tentu, aku tidak berharap anakku nanti jago memasak, tapi aku sangat mengapresiasi apabila dia mau belajar step by step untuk bisa melakukan sesuatu dan juga memberikan applause atas kelebihannya, hal tersebut yang menjadikan anak kecil merasa dimanusiakan selayaknya.

Surabaya, 12 Juli 2021
11.52 AM

--

--

No responses yet