#Babbling.. Apa sih mauku? *soon to be answered

Handiani Dandrajati
3 min readNov 25, 2020

--

Akhir-akhir ini, khususnya pengguna twitter akut macam saya, banyak membaca thread-thread twitter yang kolom repliesnya diisi dengan pros and cons. Sebagai pembaca, yang artinya awam akan masalah si pengisi thread, sering dihadapkan kondisi dilema, “mana sih yang benar? yang onoh apa yang onoh?

Saya, sebagai orang yang sangat penasaran akan hal-hal unfaedah, sering berpikir keras “sebenernya kebenaran itu ada apa engga ya? atau memang kebenaran itu relatif?” Pikiran ini terus menghantui hingga shubuh tadi. Dari dulu aku memang penganut statement “semua akan terjawab pada waktunya” dan ini terbukti, pas kuliah misalnya : materi-materi kuliah tingkat 1, aku baru paham di tingkat 4 *agak kasep memang. Ada lagi di kehidupan in general kl aku penasaran akan sesuatu, akan terjawab beberapa bulan bahkan beberapa tahun kemudian. Sesimple keingintahuan masa kecil yang terjawab dengan sendirinya ketika kita dewasa. Ok, lanjut, jadi aku membaca salah satu replied tweetnya Bang Sabda sebagai berikut.

tweet dari @sleepyprokopton

“Kebenaran itu hal yang mutlak dan tidak bisa diubah. Namun, cara pandang dalam melihat kebenaran itulah yang relatif.”

Yak, aku sependapat dengan ini. Kebenaran itu mutlak. Tapi cara pandang satu orang dengan orang lain pasti berbeda, dipengaruhi oleh latar belakang kehidupannya yang membentuk orang tsb sampai saat ini, lingkungan, dan lain-lain, banyak sekali variabelnya yang mengakibatkan cara pandang jadi beragam.

Lanjut ke overthinking yang berikutnya, berarti beda cara pandang itu hal yang wajar kan ya? Nah, di kehidupan keluarga, banyak kita liat pasangan suami istri yang akhirnya pisah karena tiap hari berdebat, yang berakar dari beda cara pandang. Bahkan kerap kali sang anak juga jadi korban traumatis karena sering melihat orang tua adu argumen di depan mereka. Gimana dong, ya?

Kata orang, kita harus banyak kompromi. Saya sukanya A, tapi pasangan sukanya B, baiknya saya mengalah untuk meredam rasa suka terhadap A untuk kemudian mencoba menyukai B, begitu pula sebaiknya. Bukannya ini sama saja memaksakan diri, mencoba mengubah diri, dan kalau tidak nyaman lama-lama bisa menjadi bom waktu di kemudian hari? Impactnya lebih besar dan tentu negatif.

Dan… kembali lagi, “setiap pertanyaan akan mendapat jawabannya pada waktu yang tepat”.

Ketika iseng-iseng buka Youtube, muncullah videonya Mbak Gita dan Mbak Ana… https://www.youtube.com/watch?v=z31LkXPBVr4

Ternyata tentang kompromi ini akan bermasalah, jika dan hanya jika, kita belum selesai sama diri kita sendiri.

Gimana tuh kamsudnya? Iya, kita harus punya core values di diri kita. Kita harus bisa paham sama apa sih maunya kita dalam hidup? apa sih yang membuat kita nyaman? Once kita sudah temukan itu, artinya kita sudah selesai dengan diri sendiri, otomatis kita akan mendapat pasangan yang pasti support akan core values kita dan bisa juga core values hidupnya dan hidup kita itu sejalan. *aamiin

See? Sesimple dari diri kita sendiri tapi kalau kita belum beres dengan hidup kita akan merembet ke masalah-masalah berikutnya dan sedihnya ini melibatkan orang lain.

Mumpung masih umur segini dan belum menikah, masih ada kesempatan untuk merenung dan mencari pengalaman sebanyak-banyaknya hingga pertanyaan “apa sih maunya Dian?” ini bisa terjawab.

Semangat untuk aku, kamu, dan semua!

Surabaya, hari gajian sedunia

14.27 WIB

--

--

No responses yet