Hal-hal kecil

Yang selama ini terabaikan…

Handiani Dandrajati
3 min readJul 7, 2020

Sudah 2 bulan aku di rumah, bersama Bapak dan Ibu. Rekor terlama semenjak lulus dari SD tinggal bersama eyang, 11 tahun setelahnya baru merasakan kembali rasanya tinggal di rumah lebih dari 3 minggu.

Rumahku, tentu bukan rumah gedongan. Banyak bagian yang sudah usang, atap teras yang hampir ambruk, dinding-dinding retak yang menjalar (sampai kami tidak berani bersandar karena kemungkinan akan ambruknya besar), kayu-kayu yang sudah mulai lapuk dan menjadi tempat persembunyian bangsa kecoa, dan kalau musim penghujan, siap2 mengemas barang2 untuk diamankan ke tempat tinggi karena tidak seperti rumah tetangga-tetangga sebelah yang sudah direnovasi dengan meninggikan tanah 70cm dari sebelumnya, rumahku masih sama seperti awal dibeli pada tahun 1985. Iya, sudah 35 tahun, sangat wajar jika kondisi sudah seperti yang kuceritakan, apalagi sama sekali belum mengalami perombakan. Tapi, entah mengapa dengan segala ketidak-normalan yang ada, aku masih merasa utuh di sini(ya, ternyata bukan tentang di mana aku tinggal, tapi bersama siapa aku tinggal).

Ibuk, berprofesi sebagai seorang pengajar. Karena situasi pagebluk ini dan usia Ibu di atas 60 tahun, Ibu dilarang ke tempat kerja dan dilarang mengajar tatap muka, alhasil semua kerjaan Ibu dilakukan secara online.

Mulai dari mengajar, rapat kurikulum, bimbingan tugas akhir, koreksi ujian, dan seminar-seminar semua dilakukan melalui online. Sebagai generasi boomer tulen, tentu Ibu jadi sangat pusing, tidak jarang merasakan tanda-tanda hipertensinya kambuh. Alhamdulillah, dengan segala skenario yang Allah aturkan (aku resign dari kerjaan di Ibukota dan aku pulang ke kampung halaman) aku memiliki porsi untuk meringankan beban Ibu melalui pintu ini. Mendampingi Ibu dalam mengoperasikan segala hal tentang teknologi dan menjadi partner Ibu dalam menyeimbangkan peran sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah (karena ayahku sudah pensiun sejak 2015).

Suatu hari, aku dan Ibu masak lauk oseng-oseng labu siam(mungkin dikenal sebagai oseng-oseng waluh atau gambas di kota lain) dan gorengan sebagai camilan. Seperti biasa, aku yang memotong rempah-rempah dan labu siam, meracik bumbu gorengan dan menggoreng, Ibu yang mengoseng. Finishingnya kami lakukan bersama, karena Ibu merasa lidahnya sudah tidak sepeka dulu sehingga kurang bisa merasakan apakah masakan sudah pas rasanya atau kurang garam, gula, atau kaldu jamur, jadi peran mengicipi aku gantikan. Hampir setiap hari, selesai memasak, Ibu selalu duduk dan memegang kakinya. Aku penasaran (dan sebenarnya agak sedikit takut untuk menanyakan, iya takut nangis) dan akhirnya memberanikan diri menanyakan tentang kenapa Ibu selalu memegang kakinya seusai memasak. Ibu menjawab kalau akhir-akhir ini sepertinya kaki Ibu tidak kuat menyangga badan Ibu, jadi kalau berdiri terlalu lama rasanya seperti kaku dan gemetaran. Aku tanya lagi, kira-kira sejak kapan Ibu merasakan seperti itu, dan ternyata sejak awal tahun ini. Mendengar jawaban Ibu, akupun bergegas ke kamar mandi dan tidak kuat menahan tangis. Lebay memang, sebenernya Ibu juga merasa biasa saja, Ibu sendiri memaklumi karena Ibu usianya sudah menginjak 63 tahun jadi wajar saja kalau otot, tulang, dan bagian2 tubuhnya sudah tidak senormal dulu, aku mungkin overglorified terhadap fenomena ini, tapi hal menohoknya adalah kemana aja aku selama ini? Ini mungkin cuma jadi sedikit hal dari banyak hal yang Ibu rasakan seiring Ibu menua. Di sisi lain, aku juga sangat bersyukur dengan apa yang aku jalani sekarang. Mungkin dari luar, keliatannya kok setelah resign belum-belum juga dapat kerjaan, tapi aku jadi sangat bersyukur bisa di sini meringankan beban Ibu setelah 11 tahun tidak tinggal bersama. Mungkin jadi pertimbangan juga setelah ini lebih baik berkegiatan di lokasi yang tidak jauh dari tempat Ibu.

Cerita ini sebenernya cuma ingin sharing saja kalau ternyata banyak hal-hal kecil yang sering engga kita sadari bahkan terabaikan dan semuanya terlewat untuk disyukuri. Kita terlalu sibuk untuk “meminta lagi” dibanding menikmati apa yang sudah kita punya.

Ketika kita kecewa, marah, menyesal dengan diri kita sendiri coba beri nafas waktumu untuk mencoba menengok hal-hal kecil di hidupmu. Hal-hal kecil itu akan menjadi pembelajaran besar untuk hidupmu.

Percayalah, aku sudah merasakannya. Sekarang, giliran kalian!

Surabaya, 8 Juli 2020

Sepertiga malam bersama Ibu.

--

--

No responses yet