Kamu adalah harapan

Hadirmu adalah pelita.

Handiani Dandrajati
3 min readFeb 8, 2018

Sudah menjadi nasihat klise ketika aku mengatakan padamu bahwa sebagai manusia harus selalu bersyukur atas apa yang kita miliki (saat ini).

Bisa jadi kau sudah bosan karena aku sudah mengatakan hal itu jutaan kali.

Tapi, ya begitu benarnya. Bersyukur.

Aku dan kamu sama-sama memiliki takdir yang sudah dituliskan di lauhul mahfudz.

Termasuk kita yang tidak pernah memilih untuk terlahir dari keluarga apa dan siapa.

Tidak semua termasuk aku dan kamu, ditakdirkan Allah untuk terlahir dari keluarga dengan basic agama yang kuat.

Mungkin, ayah dan ibu bukanlah sosok orang tua yang selalu mengajarkan prinsip agama yang matang, bukan juga sosok orang tua yang selalu mengajak anak-anaknya datang ke majelis ilmu/kajian, dan bisa jadi bukan sosok yang mengenalkan Allah kepada anak-anaknya untuk pertama kalinya.

Ayah dan ibu mungkin tidak seperti yang kita harapkan sekarang. Mungkin beliau hanya memahami perkara yang wajib saja dan mengesampingkan perkara sunnah.

Sekali lagi aku mengatakan hal yang klise “Tidak ada gunanya kita tidak dapat menerima pada hal yang sudah menjadi ketetapanNya”

Haruskah kita selalu protes pada Allah karena berbeda dari kebanyakan orang yang kau kenal?

Haruskah kita marah pada Allah karena menempatkan kita pada lingkungan (yang menurutmu) kurang tepat?

Haruskah kita selalu menjadikan kehidupan orang lain sebagai parameter keberhasilan dalam hidup?

Aku mau sedikit bercerita. Aku juga pernah mengalami kasus yang sama denganmu.

Ayah dan ibuku tidak pernah menyuruhku untuk mengenakan jilbab. Bahkan ayahku yang pertama kali menentang aku ketika aku memutuskan untuk mengenakan jilbab. Aku tidak menyalahkan ayah sama sekali. Karena aku tau bahwa ayah (saat itu) memiliki pemikiran yang baik menurutnya dan belum mengerti bahwa sudah menjadi suatu kewajiban untuk seorang wanita yang sudah baligh untuk menutup seluruh auratnya. Saat itu ayah belum paham bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali telapak tangan dan wajah.

Ayah bukan untuk disalahkan, tapi pelan-pelan diajarkan mengenai perintah Allah. Ayah bukan melarang, hanya saja belum mengerti, maka ayah tidak pantas untuk dihakimi. Dan kini, ayah yang kerap membelikan jilbab untukku berkuliah. Ayah yang selalu memuji bahwa anaknya lebih cantik dan anggun ketika mengenakan jilbab.

Pernah terbesit dalam benak, apa mungkin Allah bertujuan menjadikan kita sebagai oase di tengah gurun pasir? Apa mungkin Allah memberikan kesempatan pada kita untuk menjadi cahaya ditengah gelapnya ilmu?

Apa mungkin Allah ingin menjadikan kita sebagai ujung tombak peradaban ilmu agama di dunia kelak?

Ketetapan Allah selalu melahirkan sebuah hikmah yang luar biasa baik.

Ketetapan Allah selalu berakhir indah.

Allah Maha Adil.

Begitu baiknya Allah selalu menjaga kita dengan menggiring kita kedalam kumpulan orang-orang yang selalu menyuarakan kebaikan hingga akhirnya kita benar-benar bisa membedakan mana yang haq dan mana yang bathil.

Begitu baiknya Allah melapangkan pikiran kita agar dapat menempatkan porsi yang besar untuk ilmu-ilmu agama.

Sungguh, begitu baiknya Allah memberanikan diri kita untuk mengatakan hal yang benar dan menjaga lisan kita agar dalam penyampaian suatu kebenaran tetap menenangkan dan tidak menimbulkan perpecahan, malah mendatangkan suatu kebaikan.

Yakinlah, bahwa kehadiranmu saat ini adalah anugerah yang tak ternilai harganya bagi siapapun.

Hai, kamu.

Kamu adalah harapan. Hadirmu adalah pelita.

yang menerangi setiap sudut ruangan untuk menuntun siapa saja menuju jalan terindah.

Tidak semua orang diberi kesempatan emas ini oleh Allah.

Maka, semangatlah! Teruslah menebar kebaikan disekitarmu!

Jatinangor, 8 Februari 2018

21.55 WIB

--

--

No responses yet