Kenali kendali
Benar ya kata orang kalau belajar itu bisa dimana saja, kapan saja, dan dari apa saja. Tidak harus duduk anteng sambil tangan dilipat di atas meja dan wajah menghadap lurus ke depan dan kedua telinga siap siaga menampung apa saja yang ia dengar.
Sudah kurang lebih seminggu ini, aku pulang ke rumah dan memanfaatkan waktu untuk membaca buku. Tentu bukan buku untuk bahan ujian akhir 2 bulan lagi.
Yang aku baca adalah buku filsafat.
Eits.. tenang, kali ini aku berani jamin filsafat ini 100% tidak membosankan!
Aku tidak ingin me-review buku secara keseluruhan, tujuanku menulis ini hanya membagikan apa yang aku dapat dari buku yang mengubah hidupku akhir-akhir ini.
Mengubah hidup? Ya, tentu saja, karena disini konsep dan alur pemikiran untuk menyikapi dinamisnya cerita kehidupan akan memengaruhi keberlangsungan kehidupanku.
Mengenai konsep dan alur pemikiran, ternyata usia memang tidak menentukan. Belum tentu usia matang *tsah, lalu konsep dan alur pemikirannya baik, begitupun sebaliknya. Aku di umur ke-22 ini justru baru belajar bagaimana sewajarnya manusia membahagiakan dirinya sendiri dengan alur dan konsep pemikiran yang ia punya.
Lalu konsep dan alur pemikiran tuh sebaiknya seperti apa, sih?
Untuk baik buruknya sebenernya aku juga belum bisa menentukan, tapi apa yang aku coba terapkan baru-baru ini membuat diri ini utuh dan selalu bahagia. Maka yang harus dilakukan yaitu Kenali Kendali. Sebagai manusia yang memiliki keterbatasan (karena tiada manusia yang sempurna), maka kenali kendali ini sangat penting. Nggak semua-muanya harus kita pikirkan. Kita harus bisa bedakan mana yang harus fokus untuk dikendalikan oleh pikiran kita dan mana yang bukan kendali kita dan wasting time buat kita pikirin.
Contoh konkritnya ketika mau maju sidang skripsi. *maklum tingkat akhir. Yang bikin kita gugup dan deg2an adalah ketika kita takut dimarahin dosen (pernah sampe overthinking diusir sama dosen penguji) gegara gabisa jawab pertanyaan, terus takut sampe tengah-tengah presentasi terus blank, takut apa yang kita omongin looping terus gegara saking gugupnya terus lupa mau ngomong apa akhirnya ngulang dari awal :( (oke ini lebay sih), dan sebagainya.
Padahal, kekhawatiran itu semua DI LUAR kendali kita. Artinya, itu belum tentu terjadi dan sikap orang terhadap kita itu bukan urusan kita. Karena yang sebenernya adalah urusan kita yaitu apa-apa yang bisa kita kendalikan, yaitu memahami materi skripsi sematang mungkin, mempelajari hal-hal kecil sampai yang rumit dari topik skripsi, dan latihan untuk menyampaikan materi semaksimal mungkin. Dah itu aja. Urusan penilaian itu udah di luar ranah kita, yang penting apa yang bisa kita usahakan sudah diikhtiarkan semaksimal mungkin.
Menurut filsuf yang diceritakan dalam buku tersebut (filsuf stoa), menggantungkan kebahagiaan pada hal-hal yang tidak bisa dikendalikan adalah tidak rasional.
Kalau contoh dalam buku tersebut yang biasa kita lakukan dalam kehidupan nyata adalah ketika menghadapi kemacetan (khususnya warga ibukota dan ibukota coret ya..) Hal otomatis yang biasa orang-orang lakukan adalah marah. Ngomel-ngomel “yaelah bang, gabisa ni motor mabur aja”- kata Anak Baru Jakarta kepada Mang g*-jek. Nah, kalau sudah mengenal konsep dari filsuf stoa, menghadapi kemacetan dengan chill, karena kemarahan bukanlah sebuah solusi, maka mengisi waktu dengan membaca e-book, menyelesaikan tugas-tugas, menghitung-hitung utang temen (ini ga ada di buku sih) adalah solusi jitu.
Berarti itu sama aja pasrah sama keadaan?
Tentu tidak, Monalisa. Menerima keadaan atas apa-apa yang tak bisa kita kendalikan tidak sama dengan bersikap pasrah karena kita disini juga dituntut untuk mengusahakan sesuatu agar suatu hal bertambah nilai manfaatnya. Misal contoh sidang skripsi, tidak melulu kita berpikir kalau penilaian itu bukan dalam kendali kita terus kita enaq-enaq bobo bobo cantik pagi siang dan malam. Disini kita juga dituntut untuk berusaha menguasai materi semaksimal mungkin. Hanya saja irit di pikiran kita karena tidak mengkhawatirkan hal-hal yang belum tentu terjadi.
Untuk konsep dan alur pemikiran ini memang harus dipupuk perlahan, tidak bisa instan. Untuk membantu menanamkan alur pemikiran anti khawatir ini, maka Henry menyampaikan konsep STAR. Yaitu:
Stop -> berhenti untuk berpikir negatif seperti kekhawatiran yang belum tentu terjadi.
Think and Assess ->Memaksakan diri kita untuk mengalihkan emosi tersebut dengan berpikir secara rasional. Setelah itu baru menilai, “Apakah ini benar?” “Apakah ini diperlukan?” dan pisahkan antara fakta objektif dan interpretasi. Contoh : Jatuh kesandung kabel di gedung pernikahan mantan terus malu dan menangis tersedu-sedu karena takut dilihat banyak orang dan jadi bahan omongan grup whatsapp 7 hari 6 malam. Maka, Fakta Objektifnya hanya sampai jatuh kesandung kabel di gedung pernikahan mantan. Nah, takut dilihat dan bahan omongan grup itu sudah masuk interpretasi. Interpretasi itu cuma nambah-nambahin pikiran yang udah penuh aja karena belum tentu orang melihat atau bahkan orang mengenal kamu jadi mah bodo amaaat (kok sedih ya :( )
Respon -> Hasil dari pemikiran di tiga tahap sebelumnya. Harapannya respon ini hasil penggunaan nalar yang sebaik-baiknya dengan prinsip bijak, adil, menahan diri, dan berani.
Begitu kiranya yang bisa dibagikan. Intinya, jangan nambah-nambahin pikiranmu yang sudah penuh itu dengan hal-hal yang belum pasti. Ganti hal-hal ketidakpastian dengan sesuatu konkrit yang bisa kita lakukan dan bernilai positif.
SEMANGAT! :)
Surabaya, 6 Juli 2019
-dari aku yang sudah berdiri tegap!