Perjalanan
Sedari kecil, salah satu hal yang paling aku senangi adalah melakukan perjalanan.
Apalagi perjalanan menggunakan kereta api.
Ya, aku sangat mengaguminya. Entah apa yang menjadikanku mengidolakan kereta api, yang pasti aku selalu merasa aman, nyaman, dan bahagia ketika berada didalamnya. Kenikmatan melihat lukisan-lukisanNya merupakan suatu keunggulan kereta api dibandingkan alat transportasi lainnya.
Namun, setelah berkuliah, aku merasa berbeda. Aku hanya merasa bahagia naik kereta api ketika perjalanan pulang ke kampung halaman saja. Kembali ke perantauan merupakan hal yang paling menyesakkan dalam hidup. Problematika hidup akan dihadapi hanya dalam hitungan jam ketika kereta sampai pada pemberhentian akhirnya, yaitu kota Bandung. Tapi tak apa, aku bersyukur masih diberi kebahagiaan ketika perjalanan pulang,walaupun dalam perjalanannya aku hanya menikmatinya sendiri.
Kesendirian tak jarang turut menyukseskan perasaan asing yang menjeratku dalam hitungan waktu. Dalam perasaan asing tersebut, akan timbul imajinasi-imajinasi meliar yang lalu lalang dalam pikiran. Gerbong, bangku, jendela seakan-akan sedang berdialog sesukanya. Penumpang-penumpang yang asyik dengan gawainya seakan-akan menceritakan apa yang ia lakukan dengan gawainya. Entah ia sedang mengabari keluarganya tentang perjalanannya, entah ia sedang menunggu sebuah notifikasi, entah ia sedang dikejar deadline sesuatu sehingga ia sibuk mengerjakannya, dan sebagainya. Ada juga penumpang yang sama sepertiku, merasa sepi sehingga mereka akan membuka dialog-dialog ringan dengan penumpang sekitarnya. Yang pasti akan hadir suatu cerita seru yang bisa kita ambil maknanya.
Mari kita lihat foto yang aku ambil satu menit sebelum kereta berangkat.
Ada lelaki tua separuh baya sedang berusaha sekuat tenaga mendorong trolly berisi koper-koper salah satu penumpang. Pekerjaannya sebagai kuli tersebut ternyata ia lakoni untuk menghidupi lima anaknya yang masih kecil-kecil seorang diri. Istrinya telah lama meninggal setelah melahirkan anaknya yang kelima karena pendarahan berat (hemoragik). Tidak, aku hanya berasumsi sambil membayangkan saja sebelumnya. Yang sebenarnya terjadi adalah beliau sebagai tulang punggung keluarga bekerja sebagai kuli untuk menghidupi istrinya yang bekerja sebagai pedagang gorengan di depan stasiun dan tujuh anaknya yang semuanya masih bersekolah. Dalam kehidupannya yang tampak sulit, ia selalu bersyukur karena masih diberi kesehatan dan kekuatan mencari sesuap nasi untuk menghidupi keluarganya. Aku tidak akan tahu kehidupannya yang sebenarnya seperti apa jika kami tidak saling menjalin cerita ketika mata kami saling bertatap saat beliau sedang mengangkat koper-koper ke tempat penyimpanan barang diatas kursi penumpang. .
Untuk lelaki bertopi sebelah bapak kuli tersebut. Siapa yang akan menduga jika lelaki tersebut melakukan perjalanan untuk menengok istrinya yang baru saja mengabarkan bahwa ia melahirkan anak pertamanya. Aku tak akan tau cerita tersebut jika kami tidak duduk berjejeran dan saling bercakap-cakap satu sama lain.
Siapa yang tau apa yang benar-benar terjadi dalam kehidupan seseorang?
Hanya ia yang dipercaya untuk dijadikan tempat berbagi dan tulus untuk mendengarkan.
Begitupun tulisan ini. Apa ujung dari tulisan ini? Tak usah kau khawatir akan ujung dari tulisan ini seperti apa. Yang harus kau tau adalah hidup harus terus berjalan. Meskipun ada rasa yang telah mati dan kenangan yang menyiksa. Namun, yakinlah akan tumbuh rasa-rasa lain yang menghidupkan hati. Akan ada kenangan-kenangan baru yang hadir untuk membahagiakanmu.
Allah SWT berfirman:
اِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
Inna ma’al-’usri yusroo"Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan."
(QS. Al-Insyirah 94: Ayat 6)Ingatlah, kita tidak akan bisa menyenangkan hati semua orang, karena standar bahagia setiap orang akan berbeda. Yang pasti bisa kita lakukan adalah berusaha untuk menjadikan diri bermanfaat bagi orang lain, termasuk menjadi tempat berbagi dan selalu ikhlas untuk mendengarkan orang lain.
Sekre teknik pangan, 13 April 2018
00.28 WIB