(menanggapi) Resolusi Tahun Baru
Bagiku
Seperti judulnya, aku tekankan lagi kalo ini bagiku — karena aku tau tiap orang punya sudut pandangnya masing-masing terhadap suatu hal. Tidak bisa disamaratakan, karena latar belakang kita yang terbentuk pun berbeda-beda. Ngga ada yang salah dari setiap sudut pandang walaupun itu berbeda. Disclaimer lagi : tulisan ini sebenernya lebih banyak mengarah ke curhat sih, lagi mood tjurhat hehe..
Aku tipikal orang yang cuma senyam-senyum kalau ditanya soal resolusi tahun baru ketika orang lain udah nge-list dengan sangat rapih di buku diarynya atau di sticky notes laptop. Bukan karena aku ngga ada resolusi tiap tahunnya, ada, selalu ada, tapi mungkin sedari kecil aku terdidik di lingkungan yang selalu mendoktrin kalo punya keinginan atau harapan-harapan baiknya diucapkan dalam doa di setiap sholat.
Tapi sebenernya, aku juga pernah mengungkapkan apa mimpi-mimpiku, entah ke teman-teman atau bahkan aku bagikan ke beberapa sosial mediaku dan yang aku rasakan setelah itu adalah tertekan. Karena semakin aku membagikan resolusi-resolusi ini ke tempat lain, semakin meningkat kekhawatiranku tentang kegagalan kalau hal tersebut tidak dapat diwujudkan. Semakin aku menceritakan rencana-rencana baik apa yang akan aku jalani kedepannya, semakin takut kalo banyak orang menyudutkan aku entah karena aku tidak mencerminkan perilaku yang mendukung rencanaku atau pikiran-pikiran negatif tentangku. Intinya aku takut kalau hal semacam ini menimbulkan persepsi negatif bagi orang-orang. Aku takut malu. Takut kalau bahagiaku hilang begitu saja karena orang lain melakukan sesuatu hal / menanggapinya tidak sesuai dengan ekspektasiku.
Hadeu..
Semakin kesini aku semakin belajar, kalau seharusnya sumber bahagia itu dimulai dari diri sendiri dulu. Bukan mengandalkan orang lain. Apalagi, ekspektasimu terhadap perilaku orang lain kepadamu. Hati dan pikiran orang bukan kita yang kendalikan. Orang lain juga punya ekspetasinya sendiri. Orang lain juga punya kepentingannya sendiri. Mungkin sekedar minta saran itu boleh, tapi kembali lagi, seringkali mereka tidak akan bisa memenuhi ekspektasimu karena merekapun punya sudut pandangnya sendiri atas masalahmu. So, jangan sampai hal-hal itu yang menjadi perusak kebahagiaanmu. -itu yang ada di pikiranku.
Menjadi dewasa bagiku adalah ketika kita menjadi decision maker atas diri kita sendiri. Sekedar mengatur emosi, itu juga tahap menjadi dewasa. Selebihnya, mencari solusi atas masalah-masalah yang ada, mengkaji solusi, dan menyimpulkan solusi apa yang tepat untuk dirimu sendiri. Menjadi dewasa itu berarti tidak menggantungkan hidupmu pada orang lain.
Bukan, bukan berarti aku tidak membolehkan untuk curhat kpd teman atau orang terdekat. Boleh saja, untuk membantu meredakan emosi dan menenangkan sejenak, yang perlu diingat, apa yang akan aku lakukan nantinya itu aku yang menentukan. Toh, orang tersebut tidak akan selamanya ada di dekat kita, kan?
Kita diberi rezeki berupa waktu untuk mencerna makna yang terkandung dalam setiap permasalahan kita. Selain itu, kita juga dilatih dalam lintasan waktu untuk tetap tegak berdiri walaupun badai angin terus menerjang berusaha merobohkan pertahanan diri. Kita bertahan atas diri kita sendiri.
Maka dari itu, bagiku tak perlu menceritakan resolusi kepada orang lain. Nanti saja kalau resolusi tersebut ternyata tercapai, baru ceritakan kisah-kisah perjuangan untuk meraih resolusi, mungkin dari situ orang lain dapat lebih banyak mengambil manfaat.
Tenang, kalau memang ingin sekali menceritakan resolusi agar lebih semangat, ceritakan saja pada Allah. Dengan begitu, tak ada alasan setitikpun, bahagiamu akan hilang setelahnya.
Kamu berhak bahagia atas dirimu sendiri! Semangat! :)
Selasar Asrama TB 2, 15 Desember 2018
22.30 WIB