Runtuh
Disebutnya beton bertulang
Kokoh, tangguh, tahan banting
Aku pun tergiur
menjadikannya tameng agar tak mudah geser
menjadikannya sandaran agar tak mudah jatuh
Nyatanya,
Aku salah
Aku hanya beradu harap dengan waktu
Runtuh pada saatnya, hilang, juga tak berbekas.
Kemana lagi aku mencari tameng ?
Kemana lagi aku mencari sandaran?
Aku pun mencoba belajar dari matahari,
Mencoba bangkit kemudian menopang malam,
Namun, kegelapan tiada bisa ditolak kehadirannya.
Malam pun datang menggeser matahari.
Oh, aku ingat!
Bukankah satu per tiga abad sudah pondasi ini dijadikan tameng dan sandaran bagi yang membutuhkan?
Tak hanya aku, dia dan mereka pun telah membuktikan bahwa pondasi ini tangguh.
Tak bisakah lebih lama lagi kau berdiri tegak menantang badai ?
Ah, aku tak boleh egois.
Bagaimana jika ia memang nampak tangguh diluar namun kerangka dalam pondasi ternyata meraung-raung kesakitan menahan begitu besarnya beban kami?
Mungkin sudah saatnya kau beristirahat.
Biarkan saja keinginanku ini meluruh dalam takdir.
Biarkan saja rasa inginku mengalir lembut dalam pembuluh-pembuluh harapan. Memompanya dalam jantung kehidupan. Biarkan ia terus berdenyut sampai pada waktunya.
Tapi, aku tak pandai membohongi perasaan.
Sejatinya, aku masih mentipkan harapku pada waktu.
Hai waktu, maukah kau bekerja sama denganku membangun kembali pondasi yang telah runtuh ? Aku siapkan batu, semen, dan pasirnya. Kau hanya perlu membantuku saja menyusunnya agar menjadi pondasi yang kokoh. Kau, mau kan?
Jatinangor, 1 Desember 2017
-masih menunggu jawaban waktu