Sepertiga Malam #1
Hembusan angin malam masuk melalui celah jendela kamar asrama, seakan memberi isyarat bahwa ia akan membawaku ke suatu tempat, bernamakan ruang nostalgia.
Mengingat-ingat masa lalu yang pada masanya merupakan masa yang paling menegangkan. Salah satunya tentang pembicaraan praktikum dengan dosen yang berakhir isak tangis karena laporan yang dikerjakan tanpa tidur dicap ‘sampah’ berujung menulis laporanulang. Setelah itu hanya diberi kesempatan 1x lagi pembicaraan, jika gagal maka langsung dinyatakan tidak lulus modul tsb dan ada kemungkinan mengulang praktikum tahun depan.
Pada masa itu rasanya hidup sedang berada di ujung tanduk. Ingin menyerah saja, tapi sudah setengah jalan. Kalau lanjut, saat itu sedang tidak yakin -setidakyakinitu- pada kemampuan diri sendiri. Pikiran kalut. Hati, apalagi. Ga karuan rasanya. Kalutnya pikiran karena jika harus mengulang tahun depan, itu berarti harus menunda kelulusan, yang berarti juga UKT harus tambah lagi 1 semester. Sedangkan aku bukan dari keluarga berkecukupan. Pelik rasanya kala itu. Iri dengan teman2 lain yang tidak mendapat dosen tsb. Susah menerima kenyataan.Hanya bisa merenung tanpa ada solusi dari diri sendiri. Kemudian banyak support system berdatangan, yaitu teman2 sejurusan yang berhasil memeluk hati agar selalu tenang dan memeluk pikiran agar bisa berpikir mencari solusi. Pada akhirnya, aku dan teman-teman seperjuangan bangkit, menuliskan laporan sebaik mungkin, dan setelah itu memasrahkan semuanya pada Allah lewat doa.
Qodarullah, Allah memudahkan segalanya. Ketika pembicaraan kembali dengan dosen tersebut, sempat dibantai di 2 jam pertama, 1 jam setelahnya kami dinyatakan lulus. Alhamdulillah. Semua sistem tubuh kembali ke posisi semula. Tidak ada lagi yang konslet. Hati dan pikiran akhirnya kembali jernih.
Dan kini, pengalaman tersebut bisa menjadi bahan tertawaan kami dan teman-teman lain di sekre.
Dari situ aku paham, bahwa siapapun yang mau bekerja keras dan berdoa, ia akan menuai hasil yang baik (yang mungkin belum tentu baik menurut kita, tapi pasti baik menurut Allah). Kemudian dari situ kami dituntun untuk meluaskan hati dan membuka mata lebih lebar lagi bahwasanya kebahagiaan hidup bisa didapat jika mau menerima dengan ikhlas segala ketetapanNya, terus berbaik sangka, dan jalani semampu yang kami bisa.
Mungkin kalau aku tidak mendapat dosen tsb, hatiku masih terus kaku. Pikiranku tidak akan terbuka lebar. Mentalku tidak teruji secara matang. Tidak semua orang dibimbing dengan dosen tsb, itu berarti tidak semua orang bisa diberi kesempatan emas untuk melatih hati, pikiran, dan mental agar terintegrasi dengan baik, kan?
Dan yakinlah, suatu saat ada masanya akan menertawakan segala hal yang menurut kita keyos saat ini.
Nikmati saja prosesnya~
Kalau berliku tajam,ya ingat saja berarti bahan tertawaan kelak akan semakin berbobot~
Alhamdulillah~
Jatinangor, 24 Feb 2018
3.05 AM