Sepertiga Malam #2
Terima kasih, Ma!
Kala itu, jam dinding lawas milik eyang sejak jaman kemerdekaan berdentang 3 kali yang berarti waktu menunjukkan pukul 3 pagi. Aku selalu terbangun. Bukan karena suara dentangan jam lawas -yang tiap siang sekrupnya selalu diputar kekanan sebanyak 5 kali agar bisa berdentang di malam hari-, tetapi karena mendengar suara langkah kaki yang menjauh dari tempat tidur. Aku selalu mengamati dalam diam. Suara gemericik air terdengar dari tempat wudhu. Kemudian, aku melihat ada sajadah merah yang digelar rapi diatas keramik-keramik putih. Tak lama setelah itu, ia bersujud diatasnya sembari merajut bisikan-bisikan doa yang kemudian ia langitkan dengan isak tangis khusyu’ memecah keheningan malam.
Tak pernah kusangka sebelumnya, ternyata wajahnya yang selalu meneduhkan hati siapapun yang melihatnya tersimpan banyak kesedihan yang sengaja ia pendam hingga akhirnya luruh di sepertiga malam. Aku juga tak pernah mengerti apa saja yang ia rajutkan dalam doa-doanya. Yang aku tau, ketika bersamaku, ia selalu menunjukkan wajah bahagianya, ketabahan hatinya, dan kesabarannya yang tidak berbatas.
Aku dengan segala kelemahanku yang selalu mengeluh dihadapannya, selalu ia respon dengan sabar.
“Ndak apa-apa dek, kan masih ada waktu untuk memperbaiki”
“Ndak apa-apa dek, itu aja udah bagus kok menurut mama”
“Ndak apa-apa dek, yang penting sudah berusaha dan berdoa”
Ketika aku berhasil mencapai sesuatu yang menjadi tujuanku, ia juga tidak pernah terlihat terlalu bangga.
“Alhamdulillah, setelah ini harus berjuang lagi ya dek”
“Alhamdulillah, ayo bersyukur dek jangan lupa”
“Alhamdulillah, setelah ini perjalanannya semakin sulit dek, harus berusaha lebih sama doanya dikencengin”
Begitulah, mama.
Netral. Dihadapanku, tidak pernah terlihat terlalu sedih, pun tidak pernah terlalu bahagia. Pas, sesuai takarannya.
Namun ternyata, perasaan sedih dan bahagianya hanya ia curahkan pada Allah di waktu sepertiga malam.
Mungkin, yang selama ini aku menganggap sesuatu hal sebagai sebuah keberuntungan, itu merupakan perwujudan doa-doa yang mama rajutkan di sepertiga malamnya.
Setelah kusadari, doa-doa dari mama sudah cukup menjadi bekal semangatku selama ini. Juga sangat cukup menjadi sumber ketenangan abadi yang tak ternilai harganya.
Jadi, masih adakah alasan untukmu mengeluh, Dian?
Jatinangor, 1 Maret 2018
2:51 AM