Trauma

atau kembali mempercayakan?

Handiani Dandrajati
3 min readFeb 16, 2018

Memulai sesuatu itu berat, menjalani prosesnya apalagi, hasil akhirnya? Kalau gagal, traumanya sepanjang masa. Ya, itu kelemahanku. Susah berdamai dengan rasa trauma.

5 Tahun yang lalu, setelah 1 bulan aku belajar mengendarai motor, akhirnya aku dipasrahkan untuk membawa motor ke sekolah. Beberapa hari setelahnya, aku kecelakaan dan sampai detik ini aku masih trauma untuk membawa motor sendiri.

Malam tadi, aku memutuskan untuk mengistirahatkan badan yang entah kenapa terasa ‘remuk redam’. Mungkin karena hari-hari sebelumnya aku begadang. Tepat pukul 20.00 aku tidur. Saat akan bangun dari tidur, tetiba telingaku sakit dan berbunyi ‘ngiiing’ kemudian diikuti nafas yang terengah-engah, dan badan yang tidak lagi bisa digerakkan. Aku hafal gejala ini. Tindihan! Sleep paralysis, bahasa gaulnya. Selanjutnya, aku dihadapkan oleh halusinasi-halusinasi mengerikan dan suara-suara aneh yang kurang jelas sumbernya darimana. (Semoga memang benar hanya halusinasi). Dzikir, membaca ayat kursi serta surat-surat pendek, dan mengatur nafas aku lakukan. Kira-kira 15 menit, akhirnya aku bisa kembali ke duniaku. Fiuh. Ternyata aku baru tertidur 3 jam lamanya. Pada akhirnya, aku trauma untuk kembali tidur dan terjaga hingga detik ini.

Dan masih banyak kasus-kasus lain pada diriku yang sampai detik ini belum mampu aku lakukan kembali karena rasa trauma yang mendalam.

Sulit berdamai dengan trauma.

Padahal kita akan terus dihadapkan oleh kegagalan proses.

Seperti kasus pertama, setiap orang yang kini lihai dalam mengendarai motor, bandung-jakarta pp, bandung solo pp, dulunya juga pernah mengalami kegagalan berkendara. Ya menabrak pagar rumah, menabrak tiang, skip jalan berlubang hingga terjatuh, menabrak kendaraan lainnya, dan sebagainya. Intinya, mereka juga harus melewati proses pahit dulu, untuk kemudian dijadikan pelajaran agar tidak mengulangi kesalahan-kesalahannya.

Begitu pula kasus kedua. Menurut website alodokter, ketika kita tertidur maka akan terjadi beberapa tahapan, mulai dari tahapan Non REM (Non Rapid eye movement) dan REM (Rapid eye movement) biasanya terjadi 90 menit setelah tertidur. Sleep paralysis adalah kondisi dimana kitamerasa terbangun namun tidak dapat menggerakan badan sedikitpun. Hal tersebut dapat terjadi saat seseorang mengalami gangguan saat melewati tahapan-tahapan tidur antara terbangun dan tertidur. Pada saat transisi ini seseorang akan kesulitan untuk berbicara mulai dari beberapa detik hingga beberapa menit, biasanya kita berusaha untuk berteriak meminta bantuan tapi mulut terasa sangat kaku sehingga tidak ada suara sedikitpun yang terdengar. Faktor penyebabnya karena kualitas tidur hari-hari sebelumnya yang kurang baik, gangguan kesehatan psikologis seperti stress, dan perubahan kebiasaan tidur secara mendadak. Dari kondisi tersebut maka muncullah halusinasi-halusinasi yang sebenarnya hasil dari kekhawatiran yang ada di pikiran kita. Maka bisa dibilang, ini merupakan kegagalan proses tidur dikarenakan kurang menjaga tubuh dengan baik. Dari kasus ini, aku mendapat hikmah bahwa tubuh juga memiliki hak untuk istirahat. Pola hidup juga harus diatur sedemikian rupa agar segala aktivitas yang dilakukan bisa berdampak positif. Tidur yang cukup, pola makan yang teratur, dan olahraga rutin merupakan suatu keharusan agar tubuh dapat terpenuhi haknya dengan baik.

Intinya, kegagalan proses adalah hal yang biasa. Setiap orang pasti mengalaminya. Hanya saja cara memaknaiknya yang berbeda-beda.

Trauma harus dilawan, jangan sampai ia berhasil membuat diri kita lemah. Kembali mempercayakan pada diri kita kalau kita tangguh.

Caranya, berpikir lebih untuk memaknai apa yang terjadi, mencari hikmah atas gagalnya suatu proses,bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk membenahi diri, dan menjaga pikiran dan perilaku agar tetap berada di jalan positif.

Berprasangka baik.

Masih merasa kesulitan?

Tenang, kan ada Allah.

Percayakan saja semuanya pada Allah. Barangkali (yang menurut kita) itu adalah gagalnya suatu proses, ternyata bukan kegagalan. Barangkali itu cara Allah agar kita bisa memaknai proses lebih dalam hingga pada akhirnya kita mengatakan bahwa proses tersebut adalah sebuah kenikmatan. Bisa jadi, kan?

Nikmati saja setiap prosesnya, kalau hasilnya tidak seperti yang kita harapkan, mungkin itu bukan yang terbaik menurut Allah. Allah masih memiliki jutaan rencana yang terbaik menurutNya untuk kita.

“Mungkin selama ini kita cuma percaya bahwa Allah itu hanya ada tanpa mempercayakan urusan kita pada Allah. Kita memiliki ekspektasi atau kriteria tinggi menurut kita, lalu kemudian kita tidak berhasil untuk mencapainya. Mungkin yang salah adalah cara kita untuk mengejarnya.Cara yang kita pakai lempeng, tidak sedikitpun diserahkan pada Allah. Kadang aku sendiri juga bingung batas antara ikhtiar dan tawakkal itu apa. Tapi sejauh ini, yang aku rasakan adalah batas itu kita sendiri yang menentukan.Untuk menentukan batas, maka kita harus menjalani proses sampai dimana aku merasakan bahwa ini batasnya. Analoginya, seperti lari cepat 6 putaran semasa ujian olahraga TPB 3 tahun yang lalu. Aku dengan sendirinya akan mengerti sampai mana aku merasakan nafas terengah-engah dan mengurangi kecepatanku dalam berlari, dan melanjutkannya menjadi jalan cepat.”

Nikmati prosesnya dan tetaplah berprasangka baik.

Kembali mempercayakan.

Jatinangor, 17 Februari 2018

03.14 WIB

--

--

No responses yet